PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI CERITA WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN
A.
Latar Belakang
Persoalan pendidikan dan karakter bangsa
kini menjadi topik pembicaraan dimasyarakat.
Topik itu mengenai
berbagai aspek kehidupan, yang
tertuang
dalam berbagai tulisan dimedia cetak, media online, wawancara,
dialog, dan gelar wicara di layar kaca.
Selain dimedia massa, para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial angkat bicara mengenai persoalan budaya dan pendidikan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik perbincangan hangat di media massa, seminar,dan diberbagai kesempatan.
Berbagai alternatif penyelesaian
diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan
dan penerapan hukum yang lebih kuat.Selain dimedia massa, para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial angkat bicara mengenai persoalan budaya dan pendidikan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik perbincangan hangat di media massa, seminar,dan diberbagai kesempatan.
Alternatif
lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi,
paling tidak mengurangi masalah budaya dan
karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah
pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif
yang bersifat preventif karena pendidikan karakter membangun
generasi baru bangsa yang lebih baik.
Sebagai alternatif yang bersifat preventif,
pendidikan karakter diharapkan
dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa
dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil
dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya
dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil
dari pendidikan karakter
akan terlihat dampaknya dalam waktu yang
tidak instan,
tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.Pendidikan yang sekarang ini dianggap tepat untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut adalah pendidikan karakter bangsa, pendidikan untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh
perilaku masyarakat yang mencakup adat istiadat, nilai-nilai budaya , potensi,
kemampuan, bakat, dan pikiran bangsa Indonesia sehingga
masyarakat -memiliki
nilai dan karakter sebagai karakter pada dirinya, yang diterapkan
dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
A. Tujuan
1. Sebagai
salah satu referensi bagi para mahasiswa dan masyarakat bahwa di dalam sebuah
cerita wayang ternyata mengandung nilai-nilai pendidikan .
2. Mendeskripsikan
mengenai pendidikan karakter bangsa.
3. Mendeskripsikan
cerita wayang semar gugat.
B.
Manfaat
1.
Memberi
pengetahuan/informasi kepada para mahasiswa yang lain dan masyarakat tentang
nilai-nilai pendidikan karakter bangsa juga terkandung di dalam cerita wayang
semar mbangun kayangan.
BAB II
SINOPSIS
CERITA
Konon suatu ketika,
menurut pencerita Ki Lurah Semar gundah gulana hatinya. Hal ini menyebabkan ia
beberapa kali tak menghadiri pertemuan di negeri Amarta. Melihat lelaku Semar,
petruk sang anak menanyakan gerangan penyebabnya. Semar hanya mengatakan bahwa
ia sedang
gundah
memikirkan nasib Para Pandawa ke depan. Ia ingin membantu, namun ia membutuhkan
sejumlah pusaka Amarta. Oleh karena itu Semar memerintahkan petruk agar
berangkat ke Negeri Amarta menghadap Raja Puntadewa untuk meminjam jimat
kalimasada, payung kencana, dan tombak untuk membangun kayangan.
Singkat cerita, petruk
menemui Puntadewa yang saat itu bersama ksatria Pandawa lainnya, Werkudara,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mendengar pesan Semar yang di Sampaikan oleh
Petruk, Raja Puntadewa meminta pendapat para penggede Amarta lainnya, termasuk
Krisna. Sayangnya Krisna tak menyetujui permintaan Semar, menurutnya keinginan
untuk membangun Kayangan adalah hal yang mustahil, menyalahi kodrat Semar saat
di turunkan ke dunia, dan akan membuat murka para dewa, karena urusan kayangan
bukan tugas dan wewenag Semar. Maka niat Semar adalah keliru dan harus
diluruskan.
Petruk menimpali bahwa
keinginan Semar baik, oleh karena itu sebaiknya Ksatria Pandawa mendukungnya.
Kengototan Petruk membuat Krisna muntab, bahkan menuduh Semar hanya akan
menjadikan Ksatria Pandawa sebagai tameng dalam menghadapi murka para dewa saat
Semar melanjutkan niatnya untuk membangun kayangan.
Benarkah Semar ingin
membangun Kayangan yang di huni oleh para dewa? Sampai di sini kita akan
digiring untuk memahami alur pemikiran Semar. Dan untuk memahaminya kita perlu
mengetahui kontestasi budaya dimana tokoh ini dihidupkan. Semar adalah figure
dalam pewayangan yang menggambarkan seorang Begawan, sosok punakawan yang
menjadi penasehat Ksatria Pandawa sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Oleh
karena itu ia dijuluki manusia setengah dewa.
Dalam dunia
pewayangan, simbolisasi peran dan pesan sangat penting. Bentuk wajah dan tubuh
sang tokoh menggambarkan sifat-sifat yang mewakili kepribadian yang dihidupkan
oleh pencerita. Tokoh Ki Lurah Semar misalnya digambarkan berwajah bulat dan
pucat, oleh karena itu ia juga disebut Ki Badranaya, badra berarti rembulan,
naya berarti wajah. Dan juga dijuluki Nayantaka, naya berarti wajah, taka
berarti pucat. Kedua julukan tersebut menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak
rembulan, yang dalam pusaka hasta brata, menunjukkan seorang yang tenang, tidak
mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya
menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah
panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Ini merupakan nilai dari
kalimat wani mati sajroning urip ‘berani mati di dalam hidup’.
Perbuatannya selalu pasrah pada sang pencipta, dengan cara mematikan hawa nafsu
negatif. Dengan demikian, dalam perspektif spiritual Semar mewakili watak
yang sederhana, rendah hati, tulus, tidak munafik, tak pernah menunjukkan
perasaan yang berlebihan. Pembawaannya tenang, memiliki ketajaman batin,
jenius, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan.
Wayang memiliki makna
simbolik yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Makna dan simbol pada dasarnya
merupakan 2 unsur yangg berbeda namun berkaitan erat saling melengkapi. Dengan
demikian simbol lebih merupakan bentuk lahiriah dari maksud, dan makna adalah
isinya. Seni wayang sebagai suatu sistem budaya tidak dapat semata-mata
dipahami sebagai ‘fine art’ seni murni, melainkan perlu dikaitkan
dengan latar belakang sosial budaya masyarakat jawa, dimana wayang itu tumbuh
dan terekonstruksi.
Budaya jawa,
sebagaimana budaya timur lainnya dikenal memiliki banyak symbol-simbol social
yang merepresentasikan filosofi, tujuan, dan perilaku masyarakatnya. Hal ini
merujuk pada perkembangan budaya timur yang memang lahir dari budaya visual dan
bukan budaya konsep sebagaimana budaya barat. Budaya jawa menjadi sangat
artifiasial.
Dalam terminology
jawa, tokoh Semar merupakan pengejawantahan dari simbol pemelihara
kebaikan, penjaga kebenaran, dan penghindar angkara. Tokoh Semar yang demikian
hebat dalam tradisi penceritaan Mahabrata, bahkan mengilhami kitab Jangka
Jayabaya untuk menggunakan tokoh ini sebagai sosok penasehat raja-raja yang
memerintah tanah jawa yang hidup lebih dari 2500 tahun. Sosoknya kemudian
dijewantahkan dalam figure Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara
kembar penasehat spiritual Raja-raja. Dalam berbagai lakon perwayangan sosoknya
sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata. Ki Lurah Semar dalam
konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapak atau Dahyang-nya manusia
Jawa. Sikap dan sifatnya konon merepresentasikan sikap dan sifat manusia jawa.
Membangun kayangan
dalam narasi perwayangan bukanlah membangun surganya para dewa, sebagaimana
yang juga disalah mengerti oleh Krisna. Untuk memahami kayangan dalam
perspektif Semar, harus ‘diteropong’ dari penempatan figur ini dalam sentral
lakon penceritaan Mahabarata dimana Semar berperan sebagai penasehat Raja
Puntadewa pemimpin Negeri Amarta. Dalam cerita dikisahkan bahwa saat itu negeri
Amarta berada dalam situasi yang kritis,perilaku para pemimpin dan nayaka praja
Amarta tidak merakyat lagi. Para pejabat istana mengalami degradasi moral. Para
pemimpin yang seharusnya mengayomi dan melayani rakyatnya malah menjauh dan
tidak merakyat. Bahkan, dalam memegang tampuk pemerintahan, para pemimpin jauh
dari hati nurani.
Untuk memahami setiap
symbol dalam pewayangan, obyek tersebut harus dipahami secara kontekstual dalam
pakem ceritanya. Suatu objek yang menjadi symbol dalam cerita telah melalui
proses pemikiran simbolis penciptanya. Ketika sang pencerita menetapkan alur
ceritanya maka ia menempatkan objek symbol dengan maksud dan makna tertentu
menurut alur cerita. Obyek ini menjadi sangat penting menurut Mead, Blumer, dan
Kuhn. Ia bisa menjadi apa saja dalam dunia nyata: benda, kausalitas, peristiwa
dan kejadian. Satu-satunya persyaratan bagi ‘sesuatu’ menjadi obyek adalah ia
diberi nama, yang mewakilinya secara simbolis, suatu realitas yang bermakna
bagi masyarakat yang merupakan totalitas dari objek-objek social mereka yang
selalu dinyatakan secara social. Oleh karena itu dalam membangun interpretasi
makna, Blumer membedakan obyek dalam tiga tipe, yaitu fisikal (benda-benda),
social (orang-orang), an abstrak (ide-ide)- yang keseluruhan memiliki arti
melalui interaksi simbolik.
Simbol kayangan dalam
filosofi perwayangan yang ingin dibangun Semar adalah jiwa para pemimpin
dan kawula Kerajaan Amarta. Jiwa pemimpin bagi Semar adalah kayangan di dunia,
jagat kecil dimana rakyat hidup dan ternaungi. Pemimpin yang memiliki jiwa
laksana kayangan akan mampu melindungi, memberi kesejahteraan dan kemakmuran
bagi rakyatnya. Karena ia jiwa dari negeri rakyatnya, maka ia tak berjarak
dengan rakyat. Simbolisasi kayangan memberi pencerahan bahwa kehidupan bahagia
layaknya di surga dapat dikecap oleh rakyat bila pemimpin dapat mengayomi dan
melayani.
Untuk mewujudkan
membangun kayangan, menurut Semar hanya dapat dilakukan dengan pusaka
kalimasada, payung kecana, dan tombak. Perlu diketahui bahwa wayang dalam
sejarah seni budaya jawa merupakan seni pertunjukan yang diciptakan untuk
menyebarkan agama islam, sehingga pengaruh ajaran islam dalam filosofi
perwayangan sangat kental, misalnya dalam terminology hindu jawa dan bali tidak
dikenal adanya sang maha tunggal, sang hyang widhi. Penganut politheisme
menempatkan dewa-dewa sebagai sejajar dengan peran-peran yang berbeda. Tapi
para penyebar agama islam di tanah jawa memasukkan sang hyang widhi sebagai
dzat yang lebih besar dan berkuasa dari para dewa. Proses penyebaran agama
islam yang berusaha mengakulturasi dalam agama budaya masa itu juga menyebabkan
pengakulturasian symbol-simbol keagamaan dalam budaya masyarakat jawa.
Pusaka kalimasada yang
dalam perwayangan digambarkan sebagai pusaka immateri dan abstrak sesunggunhnya
merupakan symbol dari ucapan kalimat syahadat, ‘tiada tuhan selain Allah dan
nabi Muhammad adalah utusannya. Maksud dari pusaka ini dalam lakon Mahabrata
adalah bahwa negara Amarta hanya dapat ditegakkan bila Raja dan naya prajanya
selalu eling lan netepi kodrat hyang widhi. Sementara, pusaka
payung kencana merupakan simbolisasi dari perlindungan pemimpin terhadap
rakyatnya, maksud dari pusaka ini bahwa negara Amarta dapat menjadi negara yang
makmur dan sejahtera bila raja dapat menaungi, mengayomi, dan melayani
rakyatnya. Sedangkan pusaka tombak adalah simbolisasi dari penegakan hokum dan
keadilan. Simbol tombak berarti negara Amarta dapat menjadi kuat bila raja
memerintah dengan adil dan bijaksana.
Salah satu kelebihan
dari cerita pewayangan adalah ia masih relevan bahkan dalam konteks
kekinian. Lakon Semar mbangun kayangan bisa saja dijadikan sebagai sarana untuk
mengingatkan bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan pemerintahannya. Cerita
ini syarat dengan makna yang bersifat konstruktif. Mungkin para pemimpin perlu
sesekali mendengar, belajar, dan meneladani cerita ini, karena membangun
kayangan dapat dimaknai sebagai membangun negara yang aman, damai, makmur dan
sejahtera dimulai dari membangun kepribadian pemimpinannya. Untuk itu
diperlukan pribadi pemimpin yang berpegang teguh pada ‘kalimasada’, pada ajaran
agama, undang-undang, dan peraturan yang berlaku di dalam negara. Mampu
melindungi rakyatnya dengan ‘payung kencana’ yang menaungi, mengayomi, dan
melayani. Dan berani menegakkan kebenaran dan memerangi keangkaramurkaan dengan
‘tombak’ keadilan.
Toh hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin tidak hanya melulu relasi kekuasaan. Ada hubungan
simbiosis mutualisme, dimana sang pemimpin membutuhkan rakyatnya sebagai syarat
mutlak keberadaannya untuk melegalkan kekuasaan, sementara rakyat membutuhkan pemimpin
sebagai figur pelindung, panutan, pemberi aturan, pengayom dan sebagainya. Oleh
karena itu pemimpin dalam kesehariannya harus berpihak pada rakyat, tidak
menjaga jarak dengan rakyat dan tidak disibukkan dengan hal-hal formalitas dan
protokoler semata. Karena ia bekerja untuk rakyat.
Wajar jika kemudian
petruk, yang saat itu ke Amarta atas perintah Ki Lurah Semar, marah besar saat
Krisna menyatakan bahwa para punakawan itu hanya orang kecil, ‘gedhibal
pitulikur,’ babu yang melayani Pandawa. Dalam muntabnya Petruk
berseru bahwa Puntadewa dapat menjadi raja karena asuhan para punakawan. Bahwa
ia naik tahta karena dukungan orang-orang kecil, dan sudah sepatutnya ia
mengingat rakyat kecil ini ketika ia berkuasa, bukan menjadikan mereka seperti
keset dan alas kaki.
BAB III
FUNGSI CERITA
Nasehat Sang Hyang
Wenang kepada Semar perlu kita simak untuk
mengingatkan bahwa seorang pemimpin itu harus memberikan
pencerahan yang bijaksana. Pemimpin harus menerima perbedaan atau pluralisme
yang ada. Tidak memihak salah satu golongan dan harus bertindak adil kepada
rakyatnya, nah ini lah yang digambarkan oleh Semar di Negri
Amarta.
Negara, bagaimanapun juga dibangun berdasarkan masyarakat yang plural atau
majemuk dan berasal dari berbagai suku, ras, dan agama, segala perbedaan itu
sebagai kekuatan dan jati diri dalam membangun bangsa.
Dalam terminologi jawa
dijelaskan bahwa, tokoh Semar merupakan pengejawantahan dari simbol
pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran, dan penghindar angkara
murka.
Tokoh Semar yang demikian hebat dalam tradisi penceritaan
Mahabrata, bahkan
mengilhami kitab Jangka Jayabaya untuk menggunakan tokoh ini sebagai sosok
penasehat raja-raja yang memerintah tanah jawa yang hidup lebih dari 2500
tahun. Sosoknya kemudian dijewantahkan dalam figure Ki Sabdapalon dan Ki
Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Dalam berbagai
lakon perwayangan sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak
nyata. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapak
atau Dahyang-nya manusia Jawa. Sikap dan sifatnya konon merepresentasikan sikap
dan sifat manusia jawa.
Maka
dengan kita membaca cerita wayang semar mbangun kayangan ini, bisa kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu pedoman hidup yang
berkarakter seperti yang sedang dicita-citakan bangsa ini, yaitu membangun
masyarakat Indonesia yang berkarakter dan berbudaya.
Kita
bisa menerapkan suatu metode pesan moral pendidikan karakter ini lewat
cerita-cerita wayang seperti ini. Baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat
maupun perguruan atau sekolah. Karena membangun pendidikan karakter ini harus
dimulai sejak anak usia 3 tahun, sesuai apa yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara
dahulu. Sejak anak berumur segitulah pendidikan karakter sudah mulai bisa kita
ajarkan atau masukan kedalam jiwanya. Supaya saat dewasa nanti sianak tersebut
sudah mengerti dan memahami arti kehidupan yang berbudi pekerti baik dan
berbuadaya.Dengan cerita-cerita wayang seperti inilah kita bisa mengajarkan
pendidikan karakter terhadap anak-anak kita, keluarga,dan masyarakat sekitar.
Sebab cerita wayang ini syarat akan pesan moral dan karakter buadaya yang baik
yang bisa kita ambil inti sari dari cerita wayang tersebut salah satunya semar
mbangun kayangan ini.
Fungsi
lain nya adalah dengan kita banyak mengajarkan pendidikan karakter bangsa
dengan dengan cerita wayang ini, berarti kita secara tidak langsung kita sudah
melestarikan cerita budaya bangsa Indonesia yang syarat akan pilosofi dan pesan
moral ini.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Dari cerita wayang
Semar mbangun kayangan, dapatlah
diketahui bahwa cerita tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan karakter
bangsa. Sikap Semar yang
berbuat Tegas,
bijaksana, berani,
berprinsif kuat dan teguh. itulah
yang mencerminkan pendidikan karakter bangsa. Jadi, pendidikan karakter bangsa
sangatlah penting dan diperlukan para generasi muda yang nantinya akan
meneruskan perjuangan bangsa dan yang akan menentukan arah
perjuangan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Hal yang dilakukan oleh semar dalam
cerita wayang semar mbangun kayangan ini lah yang perlu kita contoh karena
dengan kegigihan dan sikap beraninya, maka semar bisa menegakan keadilan dan
kebenaran untuk kehidupan di Negara nya.
B.
SARAN
Masa depan generasi bangsa adalah masa depan bangsa
Indonesia. Masa depan bangsa Indonesia sendiri terletak pada pondasi jati diri
dan karakter bangsa Indonesia yang dibangun secara berkesinambungan. Bangsa
Indonesia akan tetap bertahan dan tetap jaya jika mampu memberi responsi kepada
logika perkembangan historisnya sendiri, dan akan hancur berantakan jika gagal.
Agar pendidikan karakter bangsa lebih mudah diterapkan, kita dapat mencontoh
dari sikap-sikap dalam cerita wayang. Wayang adalah sebuah falsafah yang di
dalamnya mengandung nilai-nilai dan sifat-sifat kehidupan secara eksplisit.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.bausastra.com/main/index.php?do=view&id=409
(Edit Terakhir: 2008-03-21 08:13:12 WIB) diunduh 11 Mei 2013 11:21 WIB
http://bambsolution.wordpress.com/audio-wayang-kulit/download-wayang-kulit/semar-gugat/
diunduh 11 Mei 2013 11:35 WIB
http://tunas63.wordpress.com/2011/07/24/pengertian-dan-tujuan-pendidikan-budaya-dan-karakter-bangsa/
diunduh 12 Mei 2013 12:27 WIB
http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/03/pendidikan-karakter-bangsa/
diunduh 13 Mei 2013 10:29 WIB
diunduh 25 mei 2013 10:29 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar